A.
Sejarah UU Desa
Keberadaan desa di Jawa khususnya dan
Indonesia pada umumnya sudah ada sejak Pemerintahan Indonesia belum berdiri.
Desa merupakan suatu wilayah kesatuan hukum berdasarkan kesejarahan dan adat
istiadat masyarakat. Kerajaan yang pernah ada ada di Jawa mengakui desa sebagai
wilayah kesatuan hukum di bawah naungan kerajaan.
Status dan keberadaan desa pada masa
kerajaan mengacu kepada “Buku Kertagama” dan “Serat Wulangreh”. Ketika masa
pemerintahan Hindia Belanda, desa juga diakui sebagai satu kesatuan
wilayah hukum berdasarkan adat istiadat yang mempunyai kedaulatan. Oleh karena
itu pada masa pemerintahan hindia belanda, dibuatlah undang-undang tentang
desa, yaitu IGO (Islandsche Gemeente-Ordonnantie) tanggal 13 Februari 1906
untuk desa-desa di wilayah Jawa dan Madura dan IGOB (Hogere Islandsche
Verbenden Ordonnatie Buitengewesten) untuk desa di wilayah Sumatra, Kalimantan
dan Sulawesi.
Pada saat negara Republik Indonesia
memproklamirkan diri sebagai negara merdeka pada tahun 1945, desa menjadi
tulang punggung negara dan bangsa untuk menopang kehidupan berbangsa dan
bernegara khususnya untuk melindungi warganya dari kemiskinan dan kebodohan.
Hal ini tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945, dimana posisi desa merupakan
satu kesatuan wilayah pemerintahan sebagai bagian dari desa.
Begitu pentingnya desa sebagai
perangkat negara yang paling riil maka Badan pekerja Komite Nasional Pusat
mengeluarkan pengumuman No.2 yang kemudian ditetapkan menjadi UU No. 1/1945.
Undang-Undang ini mengatur kedudukan desa dan kekuasaan komite nasional daerah,
sebagai badan legislatif yang dipimpin oleh seorang Kepala Daerah.
Karena undang-undang tersebut
dianggap tidak sempurna maka pada tanggal 10 Juli 1948, Pemerintah Indonesia
mengeluarkan UU Nomor 22 Tahun 1948. Pada tahun 1957, posisi kedaulatan desa
diperkuat dengan UU Nomor 1 Tahun 1957 dimana desa merupakan pemerintahan
otonom yang mengatur warga yang ada di wilayah otoritas hukum administrasi
tingkat ketiga setelah pemerintahan kabupaten dan pemerintahan provinsi.
Undang-undang tentang desa tersebut
diperkuat oleh keluarnya UU No 18 Tahun 1965. Desa pernah mendapat perhatian
dan kehormatan sosial politik dan legitimasi hukum yang luar biasa dari
pemerintah Indonesia pada tahun 1965 dengan keluarnya Undang-Undang Desa Nomor
19 Tahun 1965 tentang Desa Swapraja, dimana posisi desa merupakan pemerintahan
Swapraja yang merupakan kelengkapan kelembagaan demokrasi; Eksekutif (Kepala
Desa beserta Pamong Desa); Legislatif (DPRDesa/ Gotong Royong); dan Mahkamah
Desa/ Adat (Para Sesepuh dan pemangku adat).
Posisi desa sebagai “desa swapraja”
benar-benar memberi peran desa sebagai pembangkit karakter warga yang mandiri
dan tidak “bermental miskin”. Pengaturan tata kelola desa sungguh-sungguh
sempurna yang memenuhi asas pemerintahan yang baik (Good Governance). Alokasi
penggunaan kekayaan desa yang berupa tanah desa digunakan untuk pengentasan
“kemiskinan” warga desa.
Sayangnya masa kejayaan desa dalam
kemandiriannya untuk membangkitkan karakter warga yang swadaya, swakarya,
swadana dan swasembada tidak lama. Sebab pada penghujung tahun 1965 tepatnya
pada tanggal 30 September terjadi gejolak politik nasional yang sering diingat
dengan sebutan G 30 S PKI. Sejak saat itu kehidupan desa bagaikan “mati” tidak
ada kehidupan tata kelola pemerintahan desa. Apalagi dengan keluarnya Maklumat
Politik Orde Baru Nomor 6 tahun 1969 yang mencabut dan tidak memberlakukan
seluruh perundang-undangan dan peraturan tentang desa. Dengan demikian desa
tidak mempunyai legitimasi sosial, politik dan hukum maka kehidupan desa
bagaikan “anak ayam kehilangan induknya”, tidak mempunyai pegangan dan
legitimasi sosial politik apapun dari negara.
Baru pada tahun 1974 melalui UU Nomor
5 Tahun 1974, desa diposisikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan
Pemerintah Daerah sebagai satu kesatuan dengan Pemerintah Pusat. Posisi desa
yang merupakan bagian melekat dengan Pemerintah Daerah dikuatkan lagi dengan
keluarnya UU 5 Tahun 1979. Posisi desa seperti itu menjadikan tata pemerintahan
desa hanya sebagai “perangkat” pemerintah bukan sebagai “penganyom” dan
“pengemong” atau bukan lagi sebagai fasilitator warga desa.
Ketika era reformasi melengserkan
rezim orde baru, posisi sosial, politik dan hukum tentang desa mendapat angin
segar yaitu keluarnya UU Nomor 22 tahun 1999. Undang-Undang tersebut memberi
posisi desa hampir mendekati dengan UU No 19 tahun 1965 dimana desa mempunyai
legislatif (Badan Perwakilan Desa) dan Eksekutif (Kepala Desa beserta pamong
desa), sayangnnya UU No 22 tahun 1999 tidak memberi mandat desa untuk mempunyai
Badan Yudikatif seperti UU 19/1965. Walaupun demikian sudah cukup memberikan
hak, kewenangan dan tanggung jawab desa untuk mengelola pemerintahan dan
pembangunan desa secara berdaulat.
Pada periode Undang-Undang Nomor 32
tahun 2015, tema desa lebih dibicarakan pada level Peraturan Pemerintah sebagai
petunjuk pelaksana yakni Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005. Definisi
desa menurut PP No. 72 tahun 2005 adalah kesatuan masyarakat hukum yang
memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat
yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI).
Berangkat dari berbagai permasalahan
desa pada peraturan perundangan sebelumnya, hadirnya UU No 6 Tahun 2014 memberi
angin segar dalam pengelolaan desa. Hal ini dapat ditakar melalui beberapa
indikator pertama, tiap desa
mendapatkan alokasi APBN sebesar 10 persen dari dana perimbangan yang diterima
kabupaten/kota dalam APBD setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus (DAK). Kedua, kepala desa dan perangkat desa
mendapatkan penghasilan tetap setiap bulan, tunjangan dan jaminan kesehatan. Ketiga, masa jabatan kepada desa selama
6 tahun. Dapat menjabat paling banyak tiga kali masa jabatan secara
berturut-turut atau tidak secara berturut-turut.
Dari ketiga indikator sederhana ini
dapat disimpulkan beberapa poin penting yakni kebebasan, partisipasi, ekonomi
maupun sosial budaya. Ketiga hal inilah yang kemudian memberi jalan kepada
penataan desa menuju institusi negara (baca desa) paling mandiri. Dapat
dikatakan pula, kehadiran UU Desa ini memiliki sifat tepat guna. Tepat pada
waktu yang tepat dan tepat pada substansi yang tepat pula. Desa dapat
diberdayakan dan cita-cita menuju kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih
baik dapat dimulai dari kemandirian unit paling kecilnya bernama desa.
Secara ringkas UU Desa hadir dalam
rangka mengatasi berbagai permasalahan yang ada di desa baik di bidang sosial,
budaya dan ekonomi, dengan cara:
- Meningkatkan peran aparat pemerintah desa sebagai garda
terdepan dalam pembangunan dan kemasyarakatan
- Meningkatkan partisipasi dan gotong royong masyarakat
dalam pembangunan desa.
- Mempercepat pembangunan desa dan kawasan perdesaan dalam
rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat desa
- Memperkuat desa sebagai entitas masyarakat yang mandiri
B.
Desa Lama dan Desa Baru
Dari perjalanan perkembangan konsep
serta perubahan regulasi tentang desa, kemudian muncul UU Desa nomor 6 tahun
2014 maka melahirkan pengelompokan produk pemahaman antara desa lama dan desa
baru.
Desa lama dalam prespektif Desa dikatakan
sebagai kampong halaman. Konsekwensinya adalah banyak masyarakat desa yang
untuk meraih sukses harus merantau ke kota atau tidak bisa berkarya di desanya.
Dalam prespektif desa sebagai wilayah maka tidak mengenal desa melainkan
wilayah pelayanan publik dan pembangunan ekonomi. Serta dalam prespektif desa
sebagai pemerintahan atau unit administrative malahirkan suatu pemerintahan
mengalir secara hirrakis dan top down dari tangan presiden sampai pada kepala
desa. lebih parah lagi dalam prespektif sectoral atas desa munculnya anggapan
Desa sebagai lokasi obyek proyek.
Konsep Desa Baru berdasarkan semangat
UU Desa maka pertama menghormati dan menghargai
desa; Negara maupun para pihak harus mengakui eksistensi desa, asal usul desa,
prakarsa desa, karya desa dll. Kedua, mempercayai
Desa; Merupakan sikap dasar untuk mendorong pemberdayaan dan peningkatan kapasitas
desa. Dan ketiga, Menantang Desa;
Tindakan kelanjutan dari rekognisi dan kepercayaan.
C.
Pendamping desa; di antara pemdes dan
masyarakat desa
Berdasarkan
tiga konsep dalam
memaknai Desa Baru, yakni pengakuan, mempercayakan kewenangan dan menantang
desa maka konsekwensinya desa dituntut memiliki sumber daya yang mampu
mendukung terlaksananya konsep tersebut dengan baik untuk mempercepat
tercapainya visi UU Desa “Menuju Masyarakat yang Adil, Makmur dan Sejahtera”. Untuk itu pemerintah
pusat telah menetapkan kebijakan perlunya pendampingan bagi desa untuk melakukan
akselerasi terhadap pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur dan
sejahtera.
Pendamping memiliki
peran yang cukup berat, yaitu mendampingi pelaksana pemerintah desa sekaligus
masyarakat desa. Setidaknya terdapat empat tugas pokok pendamping desa, yaitu:
1. Meningkatkan kapasitas, efektivitas dan
akuntabilitas pemerintahan desa dan pembangunan Desa;
2. Meningkatkan prakarsa, kesadaran dan partisipasi
masyarakat desa dalam pembangunan desa
yang partisipatif;
3. Meningkatkan sinergi program pembangunan desa antarsektor;
4. Mengoptimalkan aset lokal Desa secara
emansipatoris
D.
APDI sebagai organisasi profesi
Asosiasi Pendamping Desa Indonesia
atau selanjutnya disingkat APDI Kabupaten Jombang, merupakan wadah bagi para pelaku
pendamping desa dan pemberdayaan masyarakat desa di wilayah Kabupaten Jombang.
Berfungsi sebagai wadah komunikasi, pembinaan, konsultasi, konsolidasi dan koordinasi
antara para pendamping desa dan pelaku pemberdayaan masyarakat desa dengan lembaga
pemerintah, swasta, lembaga/institusi kemasyarakatan serta profesi lainnya yang
relevan dengan pendampingan dan pemberdayaan di desa. Organisasi ini juga berungsi
sebagai wadah penyalur aspirasi dan atau kepentingan para pendamping desa
APDI Kabupaten Jombang bersifat terbuka,
mandiri, menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, visioner, menegakkan sikap disiplin,
profesionalisme, integritas, mendorong kerjasama serta membangun perilaku yang
bertanggung jawab, adil peduli kepada masyarakat desa, terutama masyarakat miskin
dan masyarakat yang terpinggirkan (masyarakat marginal).
1. VISI
“Terwujudnya Pendamping Desa Profesional untuk
Kemandirian Masyarakat Desa melalui Gerakan Pemberdayaan dan Pembangunan Desa”
2. MISI
1)
Mengembangkan kapasitas pendamping
desa
2)
Memperkuat jaringan antar pendamping
dan pelaku pemberdayaan
3)
Menjadi rujukan pengawalan
pelaksanaan pembangunan desa di Jombang
4)
Penguatan kelembagaan sebagai
organisasi profesi yang profesional
Asosiasi Pendamping Desa (APDI)
berasaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
APDI Kabupaten Jombang
bersifat terbuka, mandiri, menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, visioner,
mengakkan sikap disiplin, profesionalisme, integritas, mendorong kerjasama
serta membangun perilaku yang bertanggungjawab, adil peduli kepada masyarakat
desa, terutama masyarakat miskin dan masyarakat yang terpinggirkan (masyarakat
marginal).
4. TUJUAN
DIDIRIKAN APDI
1)
Meningkatkan profesionalisme, mutu
pendampingan, menjaga etika profesi melalui sertifikasi dan peningkatan
kapasitas maupun kapabilitas anggota;
2)
Mengembangkan jaringan komunikasi dan
informasi antar sesama pendamping desa dan pelaku pemberdayaan masyarakat desa
serta lembaga-lembaga profesi yang relevan
3)
Meningkatkan kemandirian dan
kesejahteraan anggota serta memberikan bantuan advokasi bagi anggota
4)
Memberikan layanan informasi dan
konsultasi dalam pemberdayaan dan pembangunan desa
5)
Mendorong dan mengupayakan
peningkatan partisipasi masyarakat dan Pemerintah Desa dalam pengelolaan
pembangunan
6)
Mendorong terwujudnya tata kelola
Pemerintahan Desa yang baik, transparan dan akuntabel
7)
Melaksanakan kajian, penelitian
terkait dengan bidang pendampingan desa dan pemberdayaan masyarakat desa.
Mendesiminasikan dan mensosialisasikan hasil kajian dan atau penelitian guna
peningkatan kapasitas pendamping desa serta para pelaku pemberdayaan masyarakat
desa.
8)
Memberikan
kontribusi kepada Pemerintah dan masyarakat desa berkaitan dengan pemberdayaan
masyarakat desa di Jombang.
9)
Turut serta
dalam mewujudkan Kabupaten Jombang sebagai daerah Agraris Agamis demi
tercapainya visi Kabupaten Jombang Sejahtera untuk Semua.
5.
RUANG
LINGKUP
Ruang lingkup kerja Pengurus APDI merupakan wilayah
sekaligus batasan kerja bagi pengurus dalam menjalankan aktivitas kelembagaan
guna mencapai tujuan, dalam rangka pelaksanaan misi menuju tercapainya visi
organisasi.
Adapun ruang lingkup
tersebut telah dibagi ke dalam masing-masing departemen sebagai berikut:
1)
Departemen Organisasi dan
Pengembangan Kelembagaan
a.
Penataan manajerial organisasi
b.
Perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi
c.
Membangun komunikasi antar lembaga
terkait isu desa
2)
Departemen Pendidikan, Pelatihan dan
Peningkatan Kapasitas
a.
Meningkatkan kapasitas pengetahuan
dan ketrampilan para pelaku pemberdaya terutama anggota APDI dengan
melaksanakan pelatihan, diskusi, seminar, workshop, study banding dan kegiatan
lain yang sejenis.
b.
Diskusi tematik kebutuhan anggota
3)
Departemen Pengembangan SDM dan
Sertifikasi Profesi
a.
Pengelolaan tata keanggotaan
b.
Memfasilitasi proses sertifikasi
4)
Departemen Publikasi, Informasi dan
Pengembangan Jaringan
a.
Mempublikasi hasil pengalaman (best practises) kegiatan pembedayaan.
b.
Media kampanye dan propaganda dukungan
atas kedaulatan desa
c.
Melakukan monitoring dan evaluasi
pelaksanaan dana desa
5)
Departemen Hukum, Advokasi dan
Kebijakan Publik
a.
Melakukan advokasi terhadap anggota
yang mengalami permasalahan dalam ruang lingkup menjalankan tugas
b.
Advokasi kebijakan public/daerah yang
berhubungan dengan pelaksanaan dana desa.
6)
Departemen Pengabdian dan
Pemberdayaan Masyarakat
a.
Melakukan kaderisasi penggerak desa
b.
Merespon kebutuhan pendidikan dan
pelatihan “desa”
c.
Menjalin kemitraan organisasi di
tingkat desa.
d.
Mempromosikan penggunaan TTG bagi
masy.desa.
7)
Departemen Riset dan Pengembangan
Teknologi Tepat Guna
a.
Melakukan riset teknologi tepat guna
b.
Melakukan identifikasi potensi desa
Mas saya mau tanya, kalau mau ngebentuk apdi di daerah mesti hub siapa ya? Atau ada kontak personal nya
BalasHapus