Senin, 02 Januari 2017

PROFIL APDI JOMBANG


A.      Sejarah UU Desa
Keberadaan desa di Jawa khususnya dan Indonesia pada umumnya sudah ada sejak Pemerintahan Indonesia belum berdiri. Desa merupakan suatu wilayah kesatuan hukum berdasarkan kesejarahan dan adat istiadat masyarakat. Kerajaan yang pernah ada ada di Jawa mengakui desa sebagai wilayah kesatuan hukum di bawah naungan kerajaan.
Status dan keberadaan desa pada masa kerajaan mengacu kepada “Buku Kertagama” dan “Serat Wulangreh”. Ketika masa pemerintahan Hindia Belanda, desa juga diakui sebagai satu  kesatuan wilayah hukum berdasarkan adat istiadat yang mempunyai kedaulatan. Oleh karena itu pada masa pemerintahan hindia belanda, dibuatlah undang-undang tentang desa, yaitu IGO (Islandsche Gemeente-Ordonnantie) tanggal 13 Februari 1906 untuk desa-desa di wilayah Jawa dan Madura dan IGOB (Hogere Islandsche Verbenden Ordonnatie Buitengewesten) untuk desa di wilayah Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi.
Pada saat negara Republik Indonesia memproklamirkan diri sebagai negara merdeka pada tahun 1945, desa menjadi tulang punggung negara dan bangsa untuk menopang kehidupan berbangsa dan bernegara khususnya untuk melindungi warganya dari kemiskinan dan kebodohan. Hal ini tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945, dimana posisi desa merupakan satu kesatuan wilayah pemerintahan sebagai bagian dari desa.
Begitu pentingnya desa sebagai perangkat negara yang paling riil maka Badan pekerja Komite Nasional Pusat mengeluarkan pengumuman No.2 yang kemudian ditetapkan menjadi UU No. 1/1945. Undang-Undang ini mengatur kedudukan desa dan kekuasaan komite nasional daerah, sebagai badan legislatif yang dipimpin oleh seorang Kepala Daerah.
Karena undang-undang tersebut dianggap tidak sempurna maka pada tanggal 10 Juli 1948, Pemerintah Indonesia mengeluarkan UU Nomor 22 Tahun 1948. Pada tahun 1957, posisi kedaulatan desa diperkuat dengan UU Nomor 1 Tahun 1957 dimana desa merupakan pemerintahan otonom yang mengatur warga yang ada di wilayah otoritas hukum administrasi tingkat ketiga setelah pemerintahan kabupaten dan pemerintahan provinsi.
Undang-undang tentang desa tersebut diperkuat oleh keluarnya UU No 18 Tahun 1965. Desa pernah mendapat perhatian dan kehormatan sosial politik dan legitimasi hukum yang luar biasa dari pemerintah Indonesia pada tahun 1965 dengan keluarnya Undang-Undang Desa Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desa Swapraja, dimana posisi desa merupakan pemerintahan Swapraja yang merupakan kelengkapan kelembagaan demokrasi; Eksekutif (Kepala Desa beserta Pamong Desa); Legislatif (DPRDesa/ Gotong Royong); dan Mahkamah Desa/ Adat (Para Sesepuh dan pemangku adat).
Posisi desa sebagai “desa swapraja” benar-benar memberi peran desa sebagai pembangkit karakter warga yang mandiri dan tidak “bermental miskin”. Pengaturan tata kelola desa sungguh-sungguh sempurna yang memenuhi asas pemerintahan yang baik (Good Governance). Alokasi penggunaan kekayaan desa yang berupa tanah desa digunakan untuk pengentasan “kemiskinan” warga desa.
Sayangnya masa kejayaan desa dalam kemandiriannya untuk membangkitkan karakter warga yang swadaya, swakarya, swadana dan swasembada tidak lama. Sebab pada penghujung tahun 1965 tepatnya pada tanggal 30 September terjadi gejolak politik nasional yang sering diingat dengan sebutan G 30 S PKI. Sejak saat itu kehidupan desa bagaikan “mati” tidak ada kehidupan tata kelola pemerintahan desa. Apalagi dengan keluarnya Maklumat Politik Orde Baru Nomor 6 tahun 1969 yang mencabut dan tidak memberlakukan seluruh perundang-undangan dan peraturan tentang desa. Dengan demikian desa tidak mempunyai legitimasi sosial, politik dan hukum maka kehidupan desa bagaikan “anak ayam kehilangan induknya”, tidak mempunyai pegangan dan legitimasi sosial politik apapun dari negara.
Baru pada tahun 1974 melalui UU Nomor 5 Tahun 1974, desa diposisikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan Pemerintah Daerah sebagai satu kesatuan dengan Pemerintah Pusat. Posisi desa yang merupakan bagian melekat dengan Pemerintah Daerah dikuatkan lagi dengan keluarnya UU 5 Tahun 1979. Posisi desa seperti itu menjadikan tata pemerintahan desa hanya sebagai “perangkat” pemerintah bukan sebagai “penganyom” dan “pengemong” atau bukan lagi sebagai fasilitator warga desa.
Ketika era reformasi melengserkan rezim orde baru, posisi sosial, politik dan hukum tentang desa mendapat angin segar yaitu keluarnya UU Nomor 22 tahun 1999. Undang-Undang tersebut memberi posisi desa hampir mendekati dengan UU No 19 tahun 1965 dimana desa mempunyai legislatif (Badan Perwakilan Desa) dan Eksekutif (Kepala Desa beserta pamong desa), sayangnnya UU No 22 tahun 1999 tidak memberi mandat desa untuk mempunyai Badan Yudikatif seperti UU 19/1965. Walaupun demikian sudah cukup memberikan hak, kewenangan dan tanggung jawab desa untuk mengelola pemerintahan dan pembangunan desa secara berdaulat.
Pada periode Undang-Undang Nomor 32 tahun 2015, tema desa lebih dibicarakan pada level Peraturan Pemerintah sebagai petunjuk pelaksana yakni Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005. Definisi desa menurut PP No. 72 tahun 2005 adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Berangkat dari berbagai permasalahan desa pada peraturan perundangan sebelumnya, hadirnya UU No 6 Tahun 2014 memberi angin segar dalam pengelolaan desa. Hal ini dapat ditakar melalui beberapa indikator pertama, tiap desa mendapatkan alokasi APBN sebesar 10 persen dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota dalam APBD setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus (DAK). Kedua, kepala desa dan perangkat desa mendapatkan penghasilan tetap setiap bulan, tunjangan dan jaminan kesehatan. Ketiga, masa jabatan kepada desa selama 6 tahun. Dapat menjabat paling banyak tiga kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut.
Dari ketiga indikator sederhana ini dapat disimpulkan beberapa poin penting yakni kebebasan, partisipasi, ekonomi maupun sosial budaya. Ketiga hal inilah yang kemudian memberi jalan kepada penataan desa menuju institusi negara (baca desa) paling mandiri. Dapat dikatakan pula, kehadiran UU Desa ini memiliki sifat tepat guna. Tepat pada waktu yang tepat dan tepat pada substansi yang tepat pula. Desa dapat diberdayakan dan cita-cita menuju kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik dapat dimulai dari kemandirian unit paling kecilnya bernama desa.
Secara ringkas UU Desa hadir dalam rangka mengatasi berbagai permasalahan yang ada di desa baik di bidang sosial, budaya dan ekonomi, dengan cara:
  1. Meningkatkan peran aparat pemerintah desa sebagai garda terdepan dalam pembangunan dan kemasyarakatan
  2. Meningkatkan partisipasi dan gotong royong masyarakat dalam pembangunan desa.
  3. Mempercepat pembangunan desa dan kawasan perdesaan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat desa
  4. Memperkuat desa sebagai entitas masyarakat yang mandiri

B.      Desa Lama dan Desa Baru
Dari perjalanan perkembangan konsep serta perubahan regulasi tentang desa, kemudian muncul UU Desa nomor 6 tahun 2014 maka melahirkan pengelompokan produk pemahaman antara desa lama dan desa baru.
Desa lama dalam prespektif Desa dikatakan sebagai kampong halaman. Konsekwensinya adalah banyak masyarakat desa yang untuk meraih sukses harus merantau ke kota atau tidak bisa berkarya di desanya. Dalam prespektif desa sebagai wilayah maka tidak mengenal desa melainkan wilayah pelayanan publik dan pembangunan ekonomi. Serta dalam prespektif desa sebagai pemerintahan atau unit administrative malahirkan suatu pemerintahan mengalir secara hirrakis dan top down dari tangan presiden sampai pada kepala desa. lebih parah lagi dalam prespektif sectoral atas desa munculnya anggapan Desa sebagai lokasi obyek proyek.
Konsep Desa Baru berdasarkan semangat UU Desa maka pertama menghormati dan menghargai desa; Negara maupun para pihak harus mengakui eksistensi desa, asal usul desa, prakarsa desa, karya desa dll. Kedua, mempercayai Desa; Merupakan sikap dasar untuk mendorong pemberdayaan dan peningkatan kapasitas desa. Dan ketiga, Menantang Desa; Tindakan kelanjutan dari rekognisi dan kepercayaan.

C.      Pendamping desa; di antara pemdes dan masyarakat desa
Berdasarkan tiga konsep dalam memaknai Desa Baru, yakni pengakuan, mempercayakan kewenangan dan menantang desa maka konsekwensinya desa dituntut memiliki sumber daya yang mampu mendukung terlaksananya konsep tersebut dengan baik untuk mempercepat tercapainya visi UU Desa “Menuju Masyarakat yang Adil, Makmur dan Sejahtera”. Untuk itu pemerintah pusat telah menetapkan kebijakan perlunya pendampingan bagi desa untuk melakukan akselerasi terhadap pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera.
Pendamping memiliki peran yang cukup berat, yaitu mendampingi pelaksana pemerintah desa sekaligus masyarakat desa. Setidaknya terdapat empat tugas pokok pendamping desa, yaitu:
1.       Meningkatkan kapasitas, efektivitas dan akuntabilitas pemerintahan desa dan pembangunan Desa;
2.       Meningkatkan prakarsa, kesadaran dan partisipasi masyarakat desa dalam pembangunan desa yang partisipatif;
3.       Meningkatkan sinergi program pembangunan desa antarsektor;
4.       Mengoptimalkan aset lokal Desa secara emansipatoris


D.      APDI sebagai organisasi profesi
Asosiasi Pendamping Desa Indonesia atau selanjutnya disingkat APDI Kabupaten Jombang, merupakan wadah bagi para pelaku pendamping desa dan pemberdayaan masyarakat desa di wilayah Kabupaten Jombang. Berfungsi sebagai wadah komunikasi, pembinaan, konsultasi, konsolidasi dan koordinasi antara para pendamping desa dan pelaku pemberdayaan masyarakat desa dengan lembaga pemerintah, swasta, lembaga/institusi kemasyarakatan serta profesi lainnya yang relevan dengan pendampingan dan pemberdayaan di desa. Organisasi ini juga berungsi sebagai wadah penyalur aspirasi dan atau kepentingan para pendamping desa
APDI Kabupaten Jombang bersifat terbuka, mandiri, menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, visioner, menegakkan sikap disiplin, profesionalisme, integritas, mendorong kerjasama serta membangun perilaku yang bertanggung jawab, adil peduli kepada masyarakat desa, terutama masyarakat miskin dan masyarakat yang terpinggirkan (masyarakat marginal).


1.    VISI
“Terwujudnya Pendamping Desa Profesional untuk Kemandirian Masyarakat Desa melalui Gerakan Pemberdayaan dan Pembangunan Desa”

2.    MISI
1)      Mengembangkan kapasitas pendamping desa
2)      Memperkuat jaringan antar pendamping dan pelaku pemberdayaan
3)      Menjadi rujukan pengawalan pelaksanaan pembangunan desa di Jombang
4)      Penguatan kelembagaan sebagai organisasi profesi yang profesional

3.    ASAS, SIFAT TUJUAN DAN TUGAS APDI
Asosiasi Pendamping Desa (APDI) berasaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
APDI Kabupaten Jombang bersifat terbuka, mandiri, menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, visioner, mengakkan sikap disiplin, profesionalisme, integritas, mendorong kerjasama serta membangun perilaku yang bertanggungjawab, adil peduli kepada masyarakat desa, terutama masyarakat miskin dan masyarakat yang terpinggirkan (masyarakat marginal).

4.    TUJUAN DIDIRIKAN APDI
1)      Meningkatkan profesionalisme, mutu pendampingan, menjaga etika profesi melalui sertifikasi dan peningkatan kapasitas maupun kapabilitas anggota;
2)         Mengembangkan jaringan komunikasi dan informasi antar sesama pendamping desa dan pelaku pemberdayaan masyarakat desa serta lembaga-lembaga profesi yang relevan
3)         Meningkatkan kemandirian dan kesejahteraan anggota serta memberikan bantuan advokasi bagi anggota
4)         Memberikan layanan informasi dan konsultasi dalam pemberdayaan dan pembangunan desa
5)         Mendorong dan mengupayakan peningkatan partisipasi masyarakat dan Pemerintah Desa dalam pengelolaan pembangunan
6)         Mendorong terwujudnya tata kelola Pemerintahan Desa yang baik, transparan dan akuntabel
7)         Melaksanakan kajian, penelitian terkait dengan bidang pendampingan desa dan pemberdayaan masyarakat desa. Mendesiminasikan dan mensosialisasikan hasil kajian dan atau penelitian guna peningkatan kapasitas pendamping desa serta para pelaku pemberdayaan masyarakat desa.
8)         Memberikan kontribusi kepada Pemerintah dan masyarakat desa berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat desa di Jombang.
9)         Turut serta dalam mewujudkan Kabupaten Jombang sebagai daerah Agraris Agamis demi tercapainya visi Kabupaten Jombang Sejahtera untuk Semua.

5.    RUANG LINGKUP
Ruang lingkup kerja Pengurus APDI merupakan wilayah sekaligus batasan kerja bagi pengurus dalam menjalankan aktivitas kelembagaan guna mencapai tujuan, dalam rangka pelaksanaan misi menuju tercapainya visi organisasi.
Adapun ruang lingkup tersebut telah dibagi ke dalam masing-masing departemen sebagai berikut:
1)      Departemen Organisasi dan Pengembangan Kelembagaan
a.       Penataan manajerial organisasi
b.      Perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi
c.       Membangun komunikasi antar lembaga terkait isu desa

2)      Departemen Pendidikan, Pelatihan dan Peningkatan Kapasitas
a.       Meningkatkan kapasitas pengetahuan dan ketrampilan para pelaku pemberdaya terutama anggota APDI dengan melaksanakan pelatihan, diskusi, seminar, workshop, study banding dan kegiatan lain yang sejenis.
b.      Diskusi tematik kebutuhan anggota

3)      Departemen Pengembangan SDM dan Sertifikasi Profesi
a.       Pengelolaan tata keanggotaan
b.      Memfasilitasi proses sertifikasi

4)      Departemen Publikasi, Informasi dan Pengembangan Jaringan
a.       Mempublikasi hasil pengalaman (best practises) kegiatan pembedayaan.
b.      Media kampanye dan propaganda dukungan atas kedaulatan desa
c.       Melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan dana desa

5)      Departemen Hukum, Advokasi dan Kebijakan Publik
a.       Melakukan advokasi terhadap anggota yang mengalami permasalahan dalam ruang lingkup menjalankan tugas
b.      Advokasi kebijakan public/daerah yang berhubungan dengan pelaksanaan dana desa.

6)      Departemen Pengabdian dan Pemberdayaan Masyarakat
a.       Melakukan kaderisasi penggerak desa
b.      Merespon kebutuhan pendidikan dan pelatihan “desa”
c.       Menjalin kemitraan organisasi di tingkat desa.
d.      Mempromosikan penggunaan TTG bagi masy.desa.

7)      Departemen Riset dan Pengembangan Teknologi Tepat Guna
a.       Melakukan riset teknologi tepat guna

b.      Melakukan identifikasi potensi desa

1 komentar:

  1. Mas saya mau tanya, kalau mau ngebentuk apdi di daerah mesti hub siapa ya? Atau ada kontak personal nya

    BalasHapus

Comments system

Disqus Shortname